Pesan Mengenai Kesenjangan Sosial dan Diskriminasi Kelas Ekonomi Dibalik Kisah ‘A Christmas Carol’ Karya Charles Dickens yang Terlepas Dari Pemahaman Pembaca

Human Interest
30.12.21

Pesan Mengenai Kesenjangan Sosial dan Diskriminasi Kelas Ekonomi Dibalik Kisah ‘A Christmas Carol’ Karya Charles Dickens yang Terlepas Dari Pemahaman Pembaca

Kisah Ebenezer Scrooge merupakan salah satu cerita yang timeless mengenai redemption dan mempromosikan kebaikan hati di hari Natal, namun, banyak pihak yang mengulas cerita tersebut sebagai sebuah bentuk political activism.

by Whiteboard Journal

 

Teks: Titania Celestine
Photo: Ilustrasi ‘A Christmas Carol’ karya Charles Dickens

Semua orang tentunya pernah mendengar kisah Ebenezer Scrooge, karakter protagonis dari novella Charles Dickens ‘A Christmas Carol’ yang pertama dirilis pada tahun 1843. Dalam kisah tersebut, Ebenezer mempelajari makna kebaikan hati dan empati setelah ia dikunjungi oleh Christmas spirit masa lalu, masa kini, dan masa depan, sebelum ia mengalami perubahan sifat pada hari Natal.

Walaupun kisah Ebenezer merupakan salah satu cerita yang timeless mengenai redemption dan mempromosikan kebaikan hati di hari Natal, banyak pihak yang mengulas cerita tersebut sebagai sebuah bentuk political activism. Tapi Dickens mengetahui itu; dengan intention tersebut dibenaknya ketika beliau menciptakan kisah tersebut.

Menurut Michael Slater, penulis biografi Charles Dickens, cerita ‘A Christmas Carol’ merupakan respons Dickens terhadap sikap pemerintah dan banyaknya jumlah ruling class di tahun 1840-an. Oleh sebab itu, banyaknya keyakinan pada masyarakat era Victorian, bahwa orang kurang mampu merupakan sebuah ‘masalah’ bukan orang yang harus dibantu. Kepercayaan dasar ini merupakan sebuah prinsip yang ditolak oleh Charles Dickens. 

Pandangan milik Dickens tersebut terbentuk oleh masa kecilnya sendiri. Dahulu, ketika keluarganya mengalami masa sulit, beliau terpaksa putus sekolah untuk bekerja di sebuah pabrik. 

Pada tahun 1843, Dickens awalnya berencana untuk menerbitkan pamflet politik berjudul: ‘An Appeal on Behalf of the Poor Man’s Child’ tetapi memutuskan untuk menanamkan pandangan miliknya tersebut pada Christmas story yang digemari banyak pembaca. 

Sindiran kepada sikap pemerintahan pada tahun 1843 tercerminkan pada dialog di awal kisah ‘A Christmas Carol’, ketika Ebenezer mengatakan kepada seorang charity collector: “Jika mereka memilih mati dibanding bekerja di pabrik, maka lebih baik mereka mati saja, bantu mengurangi kelebihan populasi.” 

“(Pandangan tersebut) yakni bahwa jika seseorang lahir dalam dunia ini, dan orang tuanya tidak memiliki resources untuk menghidupkannya, maka mereka dianggap sebagai ‘surplus’… dan semakin cepat dia meninggal, maka dipandang semakin baik,” jelas Slater. 

“Di saat itu, orang-orang sangat takut akan kelebihan populasi, terutama di kalangan menengah kebawah. Mereka percaya bahwa ketika orang melahirkan anak di dunia ini, kemudian tidak mampu untuk mempertahankan hidup mereka, ini sama saja dilihat sebagai sebuah kejahatan.” 

‘A Christmas Carol’ dipandang sebagai sebuah cerita yang mencerminkan masyarakat dengan tingkat relevansi yang masih cukup tinggi di zaman kini. Melainkan sebatas kisah yang menggembirakan, inspirasi dibalik ‘A Christmas Carol’ ditujukan untuk pesan lebih dalam dibanding sebatas moral “be kind”. 

“Mungkin karena kisah ini merupakan sebuah cerita Natal, kita tidak membacanya dengan serius sehingga kurang paham akan pesan dibalik novella milik Dickens. Pesan ini masih relevan, meskipun mungkin di zaman kini kita menggunakan diksi yang berbeda untuk menggambarkan situasi yang sama.” ujar Profesor Robert Mayhew. 

“…Menarik sekali, karena hidup di zaman kini dengan angka tunawisma yang sangat tinggi, kemudian kalangan masyarakat yang membutuhkan bantuan dari food banks. Kami memiliki kesenjangan yang ekstrim, dimana kalangan menengah atas sudah sangat ‘terbiasa’ dengan kalangan miskin– relevansi ‘A Christmas Carol’ tampaknya terasa semakin kuat setiap tahunnya seiring dengan berkembangnya zaman.” tambah Mayhew. whiteboardjournal, logo