Dampak Invasi Rusia pada Chelsea Membuka Kemungkinan tentang Kesadaran Politis di Sepak Bola

Human Interest
17.03.22

Dampak Invasi Rusia pada Chelsea Membuka Kemungkinan tentang Kesadaran Politis di Sepak Bola

Terdepaknya status Roman Abramovich di kursi kepemilikan Chelsea menjadi satu titik terbukanya moral dalam sepak bola, walaupun telah mengantarkan Chelsea mendapatkan banyak prestasi, namun kali ini sisi kemanusiaan lebih penting dari apapun.

by Whiteboard Journal

 

Teks: Yusril Mukav
Foto: The Telegraph

Pergolakan masa depan sepak bola eropa dapat kita lihat dari berbagai macam kejadian setahun terakhir. Dimulai dari munculnya “Super League” yang digagas oleh dua belas klub terkaya di eropa, menuntut bahwa liga atau kompetisi yang dibawah naungan FIFA tidak menguntungkan bagi mereka.

Dengan berbagai macam desakan dari para suporter karena dianggap menyalahi “kultur” dari sepak bola itu sendiri, maka kurang dari tujuh hari satu persatu anggota yang mengikuti deklarasi munculnya “Super League” itu mundur, dan liga pun dibatalkan.

Tanggal 24 Februari 2022 Rusia mulai melancarkan invasi ke Ukraina, dengan alasan mempertahankan dirinya, Rusia memulai serangan mereka dari Donetsk dan Luhansk. Dengan adanya invasi ini mempengaruhi banyak sektor, salah satunya olahraga.

Chelsea F.C, salah satu klub terkaya di kota London Inggris mendapatkan efek dari invasi tersebut, karena pemilik dari klub tersebut, Roman Abramovich dituding dekat dengan pemerintah Rusia, maka pemerintah Inggris memutuskan untuk membekukan asetnya di Inggris, salah satunya adalah klub Chelsea.

Abramovich membeli Chelsea 19 tahun yang lalu, dengan kekayaan yang ia punya, ia mulai berinvestasi di klub ini. Roman Abramovich berhasil mengantarkan Chelsea untuk meraih banyak gelar, dalam setahun terakhir Chelsea dapat membawa pulang piala Champions UEFA yang kedua kalinya, setelah tahun 2012.

Sejak memiliki Chelsea pada tahun 2003, Chelsea mempunyai trend yang positif dalam liga atau pada kompetisi lain, dan juga ia menjadi pelopor munculnya pebisnis-pebisnis besar yang datang ke Premier League.

Manchester City misalnya yang dimiliki oleh Syaikh Mansour, dan baru-baru ini Newcastle United yang tak tanggung-tanggung dibeli oleh pangeran Arab Saudi yaitu Muhammad bin Salman. Kejutan demi kejutan dibawa ke Premier League Inggris, para pebisnis yang mempunyai nominal kekayaan diatas rata-rata memiliki klub, lalu bagaimanakan kita dapat mengukur moral dengan uang.

Dalam banyak kasus, pembangunan moral yang tumbuh dalam dunia olahraga tidak pernah mati. Salah satu contoh dengan munculnya ‘European Super League’ satu kompetisi yang muncul dengan menghapus sistem promosi dan degradasi, memotong adanya jalur perkembangan dari tim-tim kecil dan membuat pemain seperti “sapi perah” para pemiliknya, tentunya para die hard supporters tidak tinggal diam, para pendukung Manchester United turun ke lapangan untuk memberikan protes mengenai kompetisi tersebut, belum dengan beberapa suporter eropa lainnya yang berani memprotes mengenai hal itu.

Munculnya dukungan Black Lives Matters, dengan melakukan berlutut beberapa detik menjelang kick off, mereka menentang adanya isu rasial di luar sana, lalu yang sedang berlangsung hari ini, para suporter menentang invasi yang dilakukan Rusia ke Ukraina.

Mungkin saja adanya pembekuan dan sanksi bagi Abramovic menjadi jalan yang baru bagi sepak bola, setidaknya dalam hal ini menuju jalan yang lebih baik. Dengan menyerukan nama Abramovich sebagai alih-alih menyerukan perdamaian di setiap pertandingan mereka. Atau pula Newcastle United yang hari ini selamat dari zona degradasi, para suporter lebih memaafkan tanpa menanyakan uang itu muncul dari mana.

Keyakinan terhadap perubahan moral dari dunia sepak bola akan selalu muncul, memang tidak bisa dipastikan hari ini, namun dengan berbagai macam fenomena yang melingkupi mereka, kesadaran akan muncul dengan sendirinya.whiteboardjournal, logo