Apalagi Setelah Indie?

Column
30.07.15

Apalagi Setelah Indie?

Menunggu Regenerasi pada Musik Indonesia.

by Ken Jenie

 

Waktu melaju pelan setelah demam musik independen menjangkiti anak muda di kota-kota besar Indonesia. Saat itu, musik independen (dikenal pula dengan namanya yang lebih popular, musik indie), mampu memberikan jawaban atas pencarian jati diri bagi mereka yang tak menemukannya pada musik mainstream. Diawali di Bandung dan Jakarta, gelombang ini memperkenalkan pilihan sekaligus perspektif alternatif untuk musik, baik dalam hal konsep musik itu sendiri, proses produksi dan distribusi, hingga cara berpakaian dan berdandan.

Sejak itu, independensi menjadi zeitgeist yang dijunjung tinggi oleh kalangan anak-anak muda. Jika sebelumnya semangat Do It Yourself hanya popular di kalangan punk, sejak music indie menjadi semakin kenamaan, metode berkarya tersebut semakin umum diterapkan oleh khalayak yang lebih luas. Hasilnya bisa dilihat pada bagaimana jalur-jalur ekspresi menjadi semakin terbuka dengan anak-anak muda yang semakin berani dalam usahanya mencetak eksistensi. Ditambah dengan kanal-kanal online yang mampu menampung segala bentuk ekspresi, youth culture berkembang dengan cukup pesat. Meskipun begitu, jika dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, diantara derasnya arus informasi, sebenarnya memang waktu berjalan cukup lamban.

Sakarang, hampir dua dekade sejak gairah music indie menyembul, tak banyak yang berubah dalam tatanan pusat perkembangan budaya lokal. Dengan semakin banyaknya pelaku baru di skena, tak banyak terjadi pergeseran baru di sana. Dalam sekian waktu yang terlewatkan, perkembangan musik independen lokal masih dijalankan oleh nama-nama lama dari era awal perkembangan musik indie. Kalaupun ada nama-nama baru, tak banyak yang mampu bertahan. Konsistensinya masih sulit dicari. Bahasan-bahasan mengenai prestasi scene independen lokal masih didominasi nama-nama lama itu melulu.

Sebenarnya, kondisi tersebut di atas bukan merupakan hal yang sepenuhnya negatif. Toh, selama ini kita belum kekurangan suguhan musik yang berkualitas. Akan tetapi sebenarnya, dengan keadaan yang demikian, terbentang pertanyaan besar di masa yang akan datang. Kemacetan pergeseran nama pada posisi penggerak perkembangan scene menandakan indikasi kegagalan suksesi. Dengan minimnya kemunculan nama baru yang mampu turut serta dalam menciptakan budaya-budaya tandingan, bisa dikatakan bahwa regenerasi kekuasaan tidak berjalan. Meski tentu, konteks regenerasi kekuasaan disini jauh berbeda dengan bahasan politik, tapi memang musik pun memiliki dimensi kekuasaan yang harus terus mengalir demi terus berkembangnya sebuah gagasan. Tanpa adanya penerus, maka sebuah budaya akan lekang oleh jaman.

Meski sekarang hampir setiap hari ada musisi baru yang mendaftarkan diri pada platform semacam soundcloud/bandcamp, belum ada nama yang mampu menyejajarkan diri dengan nama-nama besar musik independen lokal seperti Sore, White Shoes and The Couples Company, atau Efek Rumah Kaca. Masih belum ada yang mampu menandingi kualitas album Ports of Lima, segala pencapaian internasional WSATCC atau ketajaman lirik Efek Rumah Kaca. Padahal jelas, sekarang setiap unit musik memiliki pilihan, dukungan media hingga pasar independen yang telah terbentuk, segala hal yang tidak dimiliki oleh nama-nama besar yang sebenarnya mulai uzur tadi.

Memang, beberapa tahun terakhir ada tren positif di scene lokal. Terlihat dengan semakin banyaknya label musik independen yang juga menandai semakin besarnya minat pasar lokal terhadap musik non mainstream. Fenomena Record Store Day yang semakin ramai pada tiap tahun penyelenggaraannya menjadi bukti sahih atas kondisi pasar musik sidestream yang semakin settle.

Tapi sekali lagi, secara kualitas masih belum ada rekaman yang mampu menjadi penanda generasi post-2000 ini. Jika dulu di era awal banyak album-album penting (misalnya hampir semua rilisan aksara records), sekarang belum ada yang mampu benar-benar utuh secara kualitas lagu per lagu, juga pada konsep artistiknya. Kolamnya memang lebih penuh, namun belum ada ikan baru yang bisa muncul ke permukaan.

Menilik pada awal mula kemunculan musik independen lokal, ketika itu ada semangat kolektif yang diusung bersama-sama oleh gerakan “indie tua”. Baik disadari atau tidak, pada era 2000an ada musuh bersama yang coba dilawan bersama, yakni tren musik melayu. Dengan memiliki musuh bersama, visi pergerakan musik independen ketika itu bisa lebih real. Lebih nyata. Gagalnya musik mainstream untuk mengikuti pergeseran pola konsumsi masyarakat terhadap musik yang diiringi semakin muramnya industri musik. Terhitung sejak gagalnya solusi fiktif berjudul Ring Back Tone, posisi musik mainstream semakin buram dalam peta musik nasional. Walaupun musik independen tetap tak bisa menjangkau cakupan pasar yang lebih luas, loyalitas dan pola konsumsi musik yang lebih tinggi pada musik independen membawa musik independen ke tingkatan yang jauh lebih stabil ketimbang musik mainstream.

Sayangnya, setelah sekian tahun, keunggulan posisi musik independen ketimbang musik mainstream ini memunculkan calon permasalahan baru bagi perkembangan scene independen itu sendiri. Ketiadaan “musuh” yang harus ditaklukkan bersama membuat scene independen gagal untuk terus berkembang ke arah yang lebih maju. Kondisi menunjukkan bahwa sedikit lagi, bisa jadi nama-nama besar dari scene indie lama sudah hampir menjadi semacam orde baru yang terlalu dominan dalam perkembangannya di scene lokal. Status quo sudah mulai mengintip dibalik kemacetan regenerasi pada scene ini.

Jika memang diperlukan adanya musuh yang harus dilawan bersama demi terus berkembangnya kualitas scene musik sidestream, maka sebenarnya kita tak perlu lagi mencari-cari musuh dari faktor-faktor eksternal musik independen ini. Dengan gejala-gejala menuju status quo ini, sebenarnya sudah mulai jelas tentang siapa yang harus mulai dilawan untuk terus bisa maju dalam progresi konten musik lokal. Nama-nama baru dari skena lokal harus mulai berani bereksplorasi dalam usahanya melangkahi senior-seniornya. Toh bukan berarti anak-anak baru tadi harus melakukan konfrontasi negatif terhadap geng orde baru-nya musik independen. Melakukan perlawanan dengan menunjukkan kualitas serta prestasi jelas lebih terhormat dan berarti. Persis seperti yang dilakukan pendahulu mereka terhadap tren musik melayu. Pertanyaannya sekarang, sudah siapkah kita menggantikan nama-nama besar scene independen lokal dengan nama-nama baru?whiteboardjournal, logo